Sabtu, 30 Maret 2013

PENYAKIT YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN PERSALINAN ( DIABETES MELITUS DAN ASMA )


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Di Indonesia insiden DMG sekitar 1,9-3,6% dan sekitar 40-60% wanita yang pernah mengalami DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap diabetes mellitus atau gangguan toleransi glukosa.
Gangguan DM terjadi 2 % dari semua wanita hamil, kejadian meningkat sejalan dengan umur kehamilan, tetapi tidak merupakan kecenderungan orang dengan gangguan toleransi glokusa , 25% kemungkinan akan berkembang menjadi DM. DM gestasional merupakan keadaan yang perlu ditangani dengan professional, karena dapat mempengaruhi kehidupan janin/ bayi dimasa yang akan datang, juga saat persalinan.
Insiden asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5-1 % dari seluruh kehamilan. Serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24-36 minggu, jarang pada akhir kehamilan. Frekuensi dan beratnya serangan akan mempengaruhi hipoksia pada ibu dan janin. Penegakan diagnosis serupa dengan asma diluar kehamilan.
Angka kesakitan dan kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma. Gordon et al menemukan bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan dengan asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan penderita dengan baik, angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi normal.
1.2    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengaruh Penyakit Diabetes Melitus pada Kehamilan dan Persalinan?
2.      Bagaimana Pengaruh Penyakit Asma pada Kehamilan dan Persalinan?
3.      Bagaimana Pendokumentasian (SOAP) pada Penyakit Penyerta Kehamilan dan Persalinan ( Diabetes Melitus dan Asma)?

1.3    Tujuan
1.      Memahami Pengaruh Penyakit Diabetes Melitus pada Kehamilan dan Persalinan.
2.      Memahami Pengaruh Penyakit Asma pada Kehamilan dan Persalinan.
3.      Memahamai Pendokumentasian (SOAP) pada Penyakit Penyerta Kehamilan dan Persalinan ( Diabetes Melitus dan Asma).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Diabetes Melitus
2.1.1   Pengertian
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Yang paling sering terjadi yaitu: diabetes mellitus yang diketahui sewaktu hamil yang disebut DM gestasional dan DM yang telah terjadi sebelum hamil yang dinamankan DM pragestasi.
Diabetes mellitus merupakan ganguan sistemik pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia atau peningkatan glukosa darah yang diakibatkan produksi insulin yang tidak adekuat atau penggunaan insulin secara tidak efektif pada tingkat seluler. (Bobak. Lowdermilk, Jensen.2004)
.          Pengertian diabetes melitus pragestasi
Diabetes pragestasi, artinya sudah diketahui diabetes mellitus kemudian hamil. Diabetes Pragestasi adalah diabetes yang terjadi sebelum konsepsi dan terus berlanjut setelah masa hamil. Diabetes pragestasi dapat berupa diabetes tipe 1 (tergantung insulin) dan tipe II (tidak tergantung insulin), yang mungkin disertai atau tidak disertai penyakit vaskuler, retinopati, nefropati, dan komplikasi diabetic lainnya. Kondisi diabetogenik kehamilan pada sistem metabolic yang terganggu selama masa pragestasi memiliki implikasi yang signifikan. Adapun hormone yang normal terhadap kehamilan mempengaruhi kontrol glikemia pada pasien diabetic pragestasi. Kehamilan juga dapat mempercepat kemajuan komplikasi vaskuler diabetes. Selama trimester pertama, sementara kadar glukosa darah maternal dalam kondisi normal menurun, dan respon insulin terhadap glukosa meningkat, kontrol glikemia meningkat. Dosis insulin untuk klien diabetic yang terkontrol baik perlu disesuaikan untuk menghindari hipoglikemi. Episode hipoglikemia tidak umum terjadi pada klien diabetic tipe 1 selama awal kehamilan (Mayer, palmer, 1990)
Pengertian Diabetes Melitus Gestasional
Intoleransi terhadap karbohidrat dengan berbagai tingkat keparahan atau pertama kali dikenali pada masa hamil.
Diagnosis GDM ditegakkan tanpa memperhatikan kebutuhan akan insulin atau kontrol diet atau apakah ada kemungkinan diabetes atau tidak, yang pasti belum pernah terdiagnosis sebelum kehamilan berlangsung (Varney, 2007)
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil.
2.1.2   Tanda dan Gejala
Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini meskipun tidak semua dialami oleh penderita :
1.      Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria)
2.      Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polydipsia)
3.      Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia)
4.      Frekwensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria)
5.      Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
6.      Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki
7.      Cepat lelah dan lemah setiap waktu
8.      Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
9.      Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya
10.     Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.
Kondisi kadar gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri bahkan memasuki tahapan koma. Gejala kencing manis dapat berkembang dengan cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan, terutama pada seorang anak yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe 1. Lain halnya pada penderita diabetes mellitus tipe 2, umumnya mereka tidak mengalami berbagai gejala diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita kencing manis.


2.1.3   Klasifikasi Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe 1
Kerusakan fungsi sel beta di pankreas  Autoimun, idiopatik.
DM Tipe 2
Menurunnya produksi insulin atau berkurangnya daya kerja insulin atau keduanya.
DM tipe lain:
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas, obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain.
DM pada masa kehamilan = Gestasional
Diabetes Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami oleh si Ibu:
1. Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil
2. Si ibu mengalami/menderita DM saat hamil
Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke:
Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang timbul pada waktu hamil dan menghilang setelah melahirkan.
Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu diabetes mulai sejak sebelum hamil dan berlanjut setelah hamil.
Klas III : Pregestasional diabetes yang disertai dengan komplikasi penyakit pembuluh darah seperti retinopati, nefropati, penyakit pemburuh darah panggul dan pembuluh darah perifer.
90% dari wanita hamil yang menderita Diabetes termasuk ke dalam kategori DM Gestasional (Tipe II) dan DM yang tergantung pada insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus = IDDM, tipe I).

2.1.4   Manifestasi Klinik
Factor Normalnya kadar gula dalam darah berkisar antara 70 - 150 mg/dL {millimoles/liter (satuan unit United Kingdom)} atau 4 - 8 mmol/l {milligrams/deciliter (satuan unit United State)}, Dimana 1 mmol/l = 18 mg/dl.
Namun demikian, kadar gula tentu saja terjadi peningkatan setelah makan dan mengalami penurunan diwaktu pagi hari bangun tidur. Seseorang dikatakan mengalami hyperglycemia apabila kadar gula dalam darah jauh diatas nilai normal, sedangkan hypoglycemia adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami penurunan nilai gula dalam darah dibawah normal.
Diagnosa Diabetes dapat ditegakkan jika hasil pemeriksaan gula darah puasa mencapai level 126 mg/dl atau bahkan lebih, dan pemeriksaan gula darah 2 jam setelah puasa (minimal 8 jam) mencapai level 180 mg/dl. Sedangkan pemeriksaan gula darah yang dilakukan secara random (sewaktu) dapat membantu diagnosa diabetes jika nilai kadar gula darah mencapai level antara 140 mg/dL dan 200 mg/dL, terlebih lagi bila dia atas 200 mg/dl.
Banyak alat test gula darah yang diperdagangkan saat ini dan dapat dibeli dibanyak tempat penjualan alat kesehatan atau apotik seperti Accu-Chek, BCJ Group, Accurate, OneTouch UltraEasy machine.

2.1.5   Faktor Predisposisi
·      Umur sudah mulai tua
·      Multiparitas
·      Obesitas
·      Ada anggota keluarga sakit DM (herediter)
·      Anak lahir dengan berat besar (di atas 4 Kg)
·      Ada sejarah lahir mati dan anak besar.
·      Sering abortus.
·      Glukosuria

2.1.6   Komplikasi
Pada Perinatal :
Perinatal
Kematian perinatal bayi dengann ibu DMG ( BIDMG ) sangat tergantung dari keadaan hiperglikemia ibu. Di klinik yang maju sekalipun angka kematian di laporkan 3-5%. Angka kejadian komplikasi BIDMG di Subbagian Perinatologi FKUI/RSUPNCM dari tahun 1994-1995 adalah 5/10.000 kelahiran.
• Makrosomia
Ibu dengan DMG 40% akan melahirkan bayi dengan BB berlebihan pada semua usia kehamilan. Makrosomia mempertinggi terjadinya trauma lahir, sinhdrom aspirasi mekoneum dan hipertensi pulmonal persisten. Trauma lahir biasanya terjadi akibat distosia bahu, sehingga dapat menyebabkan fraktur humerus, klavikula, palsi Erb syaraf frenikus, bahkan kematian janin.
Sekitar 20-50% bayi dengan ibu DMG mengalami hipoglikemia (GD < 30 mg/dl) pada 24 jam pertama setelah lahir dan biasanya terjadi pada bayi makrosomia. 
• Hambatan pertumbuhan janin Ibu DMG dengan komplikasi vaskular akan memberikan bayi dengan BB rendah pada kehamilan 37-40 minggu. Hal ini dapat terjadi juga karena adanya perubahan metabolik ibu selama masa awal persalinan. 
• Cacat bawaan Kejadian cacat bawaan adalah 4,1% BIDMG. Cacat bawaan terjadi paling banyak pada kehamilan dengan DMG yang tidak terpantau sebelum kehamilan dan pada trimester pertama. Lima puluh persen kematian perinatal disebabkan kelainan jantung (TAB, VSD, ASD), kelainan ginjal (agenesis ginjal), kelainan saluran cerna (situs inversus, syndrome kolon kiri kecil), kelainan neurologi dan skelet. Kekerapan cacat bawaan ringan lebih besar, mencapai sekitar 20%. 
• Hipokalsemi dan hipomagnesemia Bayi dikatakan hipokalsemia bila kadar kalsium darahnya < 7 mg/dl (kalsium ion < 3 mg/dl). Beratnya hipokalsemia berhubungan dengan tingkat terkendalinya kadar glukosa ibu DMG. Bayi mengidap hipomagnesemia bila kadar magnesium < 1,5 mg/dl. Biasanya hipomasgnesemia terjadi bersamaan dengan hipokalsemia. 
• Hiperbilirubinemia Meningkatnya kadar bilirubin indirect pada 20-25% BIDMG, akibat pengrusakan eritrosit yang mungkin terjadi karena perubahan pada membran eritrosit. 
• Polisitemia hematologis 
• Asfiksia perinatal Asfiksia perinatal terjadi pada 25% BIDMG, mungkin disebabkan oleh makrosomia, prematuritas, penyakit vaskulat ibu yang menyebabkan hipoksia intrauterin atau pada bayi yang lahir dengan seksio sesarea. 
• Syndrom gawat nafas neonatal Kejadian sindrom gawat nafas neonatal berkolerasi dengan tingkat pengendalina kadar glukosa ibu DMG. Angka kejadian sindrom gawat nafass jelas sekali menurun pada ibu DMG dengan kadar glukosa darah yang terkendali baik. Sebagian lagi gawat nafas ini disebabkan karena prematuritas, dengan produksi surfaktan paru belum cukup atau bayi dilahirkan dengan sseksio sesarea.

Pada ibu :
a. Hipertensi
Gestational diabetes akan meningkatkan resiko ibu untuk mengalami tekanan darah yang tinggi selama kehamilan. Hal tersebut juga akan meningkatkan resiko ibu untuk terkena preeclampsia dan eclampsia, yaitu 2 buah komplikasi serius dari kehamilan yang menyebabkan naiknya tekanan darah & gejala lain, yang dapat membahayakan ibu maupun sang buah hati.
b. Preeklampsia
c. Peningkatan resiko operasi caesar
DMG hanya merupakan gangguan metabolisme yang ringan, tetapi hiper glikemia ringan tetap dapat memberikan penyulit pada ibu, berupa:
·      Preeklamsi
·      Polihidramnion
·      Infeksi saluran kemih
·      Persalinan seksio sesarea
·      Trauma kelahiran karena kelahiran bayi besar
Sekitar 40%-60% wanita yang pernah DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap diabetes militus atau toleransi glukosa terganggu

2.1.7   Penilaian Klinik dan Diagnosis
PENILAIAN KLINIK
Penapisan untuk DMG harus dilakukan pada semua wanita hamil.
Faktor resiko DMG :
Riwayat kebidanan
·      Beberapa kali keguguran.
·      Riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab yang jelas.
·      Riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan.
·      Pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram.
·      Pernah preeklampsia.
·      Polihidramnion. Riyawat ibu
·      Umur ibu hamil > 30 tahun.
·      Riwayat DM dalam keluarga.
·      Pernah DMG dalam kehamilan sebelumnya.
·      Infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil.

DIAGNOSIS
Wanita hamil kadar gula darah < 140 mg/dl > 140 mg/dl
Puasa
Glukosa 75 gram
Plasma 2 jam 140 – 199 mg/dl >200 mg/dl >200 mg/dl
Diagnosis Toleransi Glukosa Terganggu DM DMG

PERSIAPAN PEMERIKSAAN
Pasien harus makan mengandung cukup karbohidrat minimal 3 hari sebelumnya, kemudian semalam sebelum hari pemeriksaan harus berpuasa selama 8 sampai 12 jam. Setelah persiapan dalam keadaan berpuasa, pagi hari diambil contoh darah, kemudian diberikan beban glukosa 75 gram dalam 200 ml air. Contoh darah berikutnya diperiksa 2 jam setelah beban glukosa. Contoh darah yang diberikan adalah plasma vena.

2.1.8   Pengaruh Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Diabetes
·      Kehamilan dapat menyebabkan prediabetik menjadi manifes (diabetes)
·      Diabetes akan menjadi lebih berat oleh kehamilan.
·      Pada persalinan yang memerlukan tenaga ibu dan kerja rahim akan memerlukan glukosa banyak, maka akan terjadi hipoglikemi atau koma.
·      Dalam masa laktasi keperluan akan insulin akan bertambah
Pengaruh Diabetes Terhadap Kehamilan
·      Abortus dan partus prematurus
·      Hidramnion
·      Pre eklampsi
·      Kesalahan letak janin
·      Insufisiensi placenta
Pengaruh Diabetes Terhadap Persalinan
·      Inercia uteri atau atonia uteri
·      Distocia karena janin (anak besar, bahu lebar)
·      Kelahiran mati
·      Persalinan lebih sering di tolong secara operatif
·      Angka kejadian perdarahan dan infeksi tinggi
·      Morbiditas & mortalitas ibu tinggi.
Pengaruh Diabetes Terhadap Nifas
·      Perdarahan & infeksi puerperal lebih tinggi
·      Luka jalan lahir lambat pulih/ sembuh
Pengaruh Diabetes Terhadap Janin/Bayi
·      Sering tejadi abortus
·      Kematian janin dalam kandungan setelah 36 minggu
·      Dapat terjadi cacat bawaan
·      Dismaturitas
·      Janin besar (makrosomia)
·      Kematian neonatal tinggi.
·      Kemudian hari dapat terjadi kelainan neurologik dan psikologik.

2.1.9   Penatalaksanaan
Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa.
Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin.
Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan therapi insulin (Lantus/Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain itu adalah dengan berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan (diet).
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan kadar gula darah.
Prinsip penanganan
·      Kontrol secara ketat kadar gula darah, sebab bila kontrol kurang baik upayakan lahir lebih dini, dengan pertimbangan kematangan pada janin. Dapat terjadi kematian janin mendadak. Berikan insulin yang bekerja secara cepat, bila mungkin memberikan secara drip.
·      Hindari adanya infeksi traktus urinarius atau infeksi lainnya. Lakukan upaya pencegahan infeksi dengan baik.
·      Bayi baru lahir bisa terjadi hipoglikemia yang cepat, perlu diatasi dengan memberi infus glukosa.

PEMANTAUAN LANJUT
·      Disarankan agar pada semua wanita DMG setelah persalinan dilakukan tes toleransi glukosa setiap 6 bulan sekali.
·      Perlindungan obstetri melalui pemakaian kontrasepsi harus diterapkan pada penderita DMG.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus menurut Pemenuhan Kebutuhan Gizi Reproduksi, 2006, yaitu :
1.     Mengatur diet.
Diet yang dianjurkan pada bumil DMG adalah 30-35 kal/kg BB, 150-200 gr karbohidrat, 125 gr protein, 60-80 gr lemak dan pembatasan konsumsi natrium. Penambahan berat badan bumil DMG tidak lebih 1,3-1,6 kg/bln. Dan konsumsi kalsium dan vitamin D secara adekuat.
2.    Penatalaksanan Diabetes Melitus terhadap ibu hamil menurut Kapita Selekta, Jilid II, 2006. yaitu sebagai berikut :
·      Daya tahan terhadap insulin meningkat dengan makin tuanya kehamilan, yang dibebaskan oleh kegiatan antiinsulin plasenta.
·      Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin diberi insulin dosis yang sama dengan dosis diluar kehamilan sampai ada tanda-tanda bahwa dosis perlu ditambah atau dikurangi.
·      Perubahan-perubahan dalam kehamilan memudahkan terjadinya hiperglikemia dan asidosis tapi juga manimbulkan reaksi hipoglikemik. Maka dosis insulin perlu ditambah/dirubah menurut keperluan secara hati-hati dengan pedoman pada 140 mg/dl. Pemeriksaan darah yaitu kadar post pandrial < 140 mg/dl. Terutama pada trimester I mudah terjadi hipoglikemia apabila dosis insulin tidak dikurangi karena wanita kurang makan akibat emisis dan hiperemisis gravidarum.
·      Pada penderita yang penyakitnya tidak berat dan cukup dikuasi dengan diit saja dan tidak mempunyai riwayat obstetri yang buruk, dapat diharapkan partus spontan sampai kehamilan 40 minggu. lebih dari itu sebaiknya dilakukan induksi persalinan karena prognosis menjadi lebih buruk.
·      Apabia diabetesnya lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin, sebaiknya kehamilan diakhiri lebih dini sebaiknya kehamilan 36-37 minggu.
·      Bila kehamilan disertai komplikasi, maka dipertimbangkan untuk menghindari kehamilan lebih dini lagi baik dengan induksi atau seksio sesarea dengan terlebih dahulu melakukan amniosentesis. Dalam pelaksanaan partus pervaginam, baik yang tanpa dengan induksi, keadaan janin harus lebih diawasi jika mungkin dengan pencatatan denyut jantung janin terus – menerus.

2.2    Asma
2.2.1   Pengertian
The American Thoracic Society (1962): adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan.
Gibbs dkk (1992) mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang banyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas terutama sel mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Asma Bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai UK 24-36 minggu dan pada akhir kehamilan jarang terjadi serangan.
2.2.2   Faktor Predisposisi
a.    Alergi
b.    Infeksi saluran nafas
c.    Stress
d.   Olah raga / kegiatan jasmani yang berat
e.    Obat-obatan
f.     Polusi udara
g.    Lingkungan kerja

2.2.3   Tanda dan Gejala
a.       Nafas pendek
b.      Nafas terasa sesak dan yang paling khas pada  penderita asma adalah terdengar bunyi wising yang timbul saat menghembuskan nafas
c.       Pada kehamilan, biasanya serangan asma akan timbul pasa usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi.
Batuk, sesak, wheezing, hiperventilasi, dispnea, takipnea, ortopnea, ekspirasi memanjang, sianosis, takikardi persisten, penggunaan obat bantu pernapasan, kesukaran bicara, dan pulsus paradoksus.

2.2.4   Manifestasi Klinik
Factor pencetus timbulnya asma antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan factor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, biasanya penderita mengeluh nafas pendek, berbunyi, sesak, dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan.

2.2.5   Komplikasi
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia.
Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin dan sering terjadi sbb.
- Keguguran
- Persalinan prematur
- Pertumbuhan janin terhambat.
Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan bisa terjadi:
·      Abortus
·      Perdarahan vagina
·      Persalinan premature
·      Solusio plasenta 2,5%
·      Korioamnionitis 10,4%
·      Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu.


2.2.6   Diagnosis Asma Bronkiale
Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang dengan masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung terus menerus.
Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus serangan.
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardi, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan. Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang.

2.2.7   Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak dapat diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai 60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma.
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai faktor yang memberikan pengaruh.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam.

2.2.8   Pengaruh Asma terhadap Kehamilan
Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat ringannya asma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara bermakna mempengaruhi hasil akhir kehamilan, beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidensi abortus, kelahiran prematur, janin dengan berat badan lahir rendah, dan hipoksia neonatus. Beratnya derajat serangan asma sangat mempengaruhi hal ini, terdapat korelasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan berat lahir janin. Angka kematian perinatal meningkat dua kali lipat pada wanita hamil dengan asma dibandingkan kelompok kontrol.
Asma berat yang tidak terkontrol juga menimbulkan resiko bagi ibu, kematian ibu biasanya dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, dan komplikasi yang mengancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, serta kelemahan otot dengan gagal nafas. Angka kematian menjadi lebih dari 40% jika penderita memerlukan ventilasi mekanik.
Asma dalam kehamilan juga dihubungkan dengan terjadinya sedikit peningkatan insidensi preeklampsia ringan, dan hipoglikemia pada janin, terutama pada ibu yang menderita asma berat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penanganan penderita secara intensif, akan mengurangi serangan akut dan status asmatikus, sehingga hasil akhir kehamilan dan persalinan dapat lebih baik.

Pengaruh asma dalam kehamilan terhadap janin
Efek yang dirasakan tidak hanya dirasakan oleh ibu tapi juga dirasakan oleh janin
1.    Asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
2.    IUGR (Intra Uterine Growth Rate)
3.    Lepasnya plasenta (solusio placenta)

2.2.9   Penanganan Asma Selama Kehamilan dan Persalinan
     Dasar-dasar Penanganan
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walaupun demikian eksaserbasi akut selalu tak dapat dihindari.
Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
1.    Menghindari terjadinya gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap penderita, menghindari pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal secara tepat.
2.    Menghindari terjadinya perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan pernapasan atau status asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan intensif.
3.    Mencapai suatu persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi keselamatan ibu.
4.    Dalam penanganan penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena penanganan suatu kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memulai suatu perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan beberapa prinsip tertentu yaitu :
·      Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada penderita tertentu.
·      Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal
·      Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada saluran nafas, seperti bronkitis, sinusitis.
·      Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui masalah-masalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk penggunaan obat-obatan.
·      Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka respon pengobatan yang baik.
·      Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya pada penderita asma berat.
Obat-obat anti asma yang sering digunakan
Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat dibagi dalam 5 kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine, glukokortikoid, cromolyn sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-obat lain yang sering digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran dan antibiotik.
a. Beta adrenergik agonis
Dalam golongan ini epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan.
Epinefrin menstimulasi reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi, tetapi juga menstimulasi reseptor alfa dan beta-1 yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi perifer dan takikardia baik pada ibu maupun janin, juga menyebabkan fetal distres, ini merupakan kelemahan teoritis penggunaan epinefrin dalam kehamilan, untungnya epinefrin mempunyai waktu paruh pendek dan belum ada laporan yang menunjukkan adanya efek jangka panjang terhadap janin pada penggunaannya dalam kehamilan.
Terbutalin merupakan beta agonis yang sering digunakan untuk terapi tokolitik pada persalinan prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya sebaiknya dikurangi pada saat mendekati aterm, meskipun tidak terdapat laporan yang menunjukkan adanya penundaan bermakna dalam onset persalinan normal, bila obat ini digunakan sebagai terapi inti asma standar.
2. Methylxanthine (Teofilin)
Teofilin dengan berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini. Mekanisme teofilin menimbulkan bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui inhibisi kompetitif terhadap enzim fosfodiesterase, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar siklik AMP karena degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam dietileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan xanthin yang dapat diberikan secara parenteral
3. Glukokortikoid
Kortikosteroid digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid bukan merupakan bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi inflamasi pada saluran napas. Umumnya disepakati memberikan steroid seawal mungkin pada penderita dengan serangan asma akut berat. Pemakaian kortikosteroid selama kehamilan tidak menyebabkan meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu.
4. Cromolyn Sodium
Cromolyn sodium bukan merupakan bronkodilator, efek terapeutik utamanya adalah inhibisi terhadap degranulasi sel mast, sehingga mencegah terjadinya pelepasan mediator kimia untuk reaksi anafilaksis. Cromolyn berguna baik untuk asma alergik maupun non alergik.
5. Anti Kolinergik
Obat antikolenergik seperti atropin sulfat dapat memberikan efek bronkodilatasi ada penderita asma, tetapi penggunaannya menjadi terbatas karena efek samping yang tidak diinginkan. Golongan antikolinergik yang lebih sering digunakan adalah ipratropium bromida, terbukti efektif dan kurang menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Efek penggunaan obat anti asma dalam kehamilan terhadap janin Umumnya obat-obat anti asma yang biasanya dipergunakan relatif aman penggunaannya selama kehamilan, jarang dijumpai adanya efek teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma.
Penanganan asma kronik pada kehamilan
Dalam penanganan penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam serangan akut, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli paru. Usaha-usaha melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui pengobatan dilakukan untuk menghindari timbulnya serangan asma yang berat.
Adapun usaha penanganan penderita asma kronik meliputi :
  1. Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat memacu timbulnya serangan asma.
  2. Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma
  3. Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya terhadap penderita asma belum diketahui jelas.
  4. Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-12 jam.
  5. Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan yang lainnya.
  6. Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali sehari, atau beta agonis lainnya.
  7. Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan prednison dengan dosis sekecil mungkin.
  8. Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran nafas atas.
  9. Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi.
Penanganan asma dalam persalinan
Pada kehamilan dengan asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal. Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan, intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan harus berlangsung pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat; peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu persalinan.
Selama persalinan kala I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena, dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat.
Bila terjadi pendarahan post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya harus digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas histamin.
Bila persalinan dengan seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi cara spinal.
Penanganan asma post partum
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum. Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.

Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
PENATA LAKSANAN
1.                Menghindari faktor pencetus, seperti :
·       Infeksi saluran napas atas
·       Alergen
·       Udara dingin
·       Psikis.
2.                Menggunakan Obat
·      Obat lokal (seperti aminofilin) atau kortikosteroid inhalasi atau oral pada
serangan asma ringan.
·      Obat antiasma umumnya tidak berpengaruh negatif terhadap janin, kecuali
adrenalin.
·      Adrenalin mempengaruhi pertumbuhan janin karena penyempitan pembuluh
darah ke janin yang dapat mengganggu oksigenisasi pada janin tersebut.
·      Aminofilin dapat menyebabkan penurunan kontraksi uterus.
3.                Menangani Serangan Asma Akut ( sama dengan wanita tidak hamil ), yaitu :
·      Memberikan cairan intravena
·      Mengencerkan cairan sekresi di paru
·      Memberikan oksigen (setelah pengukuran PO2, PCO2) sehingga tercapai PO2 lebih
     60 mmHg dengan kejenuhan 95% oksigen atau normal.
·      Cek fungsi paru
·      Cek janin
·      Memberikan obat kortikosteroid.
4.                Menangani asmatikus dengan gagal napas
·      Secepatnya melakukan intubasi bila tidak terjadi perubahan setelah
pengobatan intensif selama 30-60 menit.
·      Memberikan antibiotik saat menduga terjadi infeksi
5.                Mengupayakan persalinan
·       Persalinan spontan dilakukan saat pasien tidak berada dalam serangan.
·       Melakukan ekstraksi vakum atau forseps saat pasien berada dalam serangan.
·       Seksio sesarea atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan.
·       Meneruskan pengobatan reguler asma selama proses kelahiran.
·       Jangan memberikan analgesik yang mengandung histamin tetapi pilihlah
      morfin atau analgesik epidural.
·       Hati-hati pada tindakan intubasi dan penggunaan prostaglandin E2 karena
      dapat menyebabkan bronkospasme.
6.      Memilih obat yang tidak mempengaruhi air susu
·         Aminofilin dapat terkandung dalam air susu sehingga bayi akan mengalami
gangguan pencernaan, gelisah dan gangguan tidur.
·         Obat antiasma lainnya dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
karena kadarnya dalam air susu sangat kecil.
  
 
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas terutama sel mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi.

3.2    Saran
  • Kepada mahasisiwi Poltekkes Bandung Prodi Kebidanan Karawang agar lebih dapat memahami jenis penyakit yang menyertai kehamilan dan persalinan khususnya Diabetes Melitus dan Asma.
  • Bagi petugas kesehatan khususnya bidan diharapkan dapat mengetahui tindak lanjut penanganan penyakit yang menyertai kehamilan dan persalinan khususnya Diabetes Melitus dan Asma, juga dapat mengenali tanda dan gejala terjadinya Diabetes Melitus dan Asma dalam kehamilan dan persalinan