BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di Indonesia insiden DMG sekitar 1,9-3,6% dan sekitar
40-60% wanita yang pernah mengalami DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan
akan mengidap diabetes mellitus atau gangguan toleransi glukosa.
Gangguan DM terjadi 2 % dari semua wanita hamil,
kejadian meningkat sejalan dengan umur kehamilan, tetapi tidak merupakan
kecenderungan orang dengan gangguan toleransi glokusa , 25% kemungkinan akan
berkembang menjadi DM. DM gestasional merupakan keadaan yang perlu ditangani dengan
professional, karena dapat mempengaruhi kehidupan janin/ bayi dimasa yang akan
datang, juga saat persalinan.
Insiden asma dalam
kehamilan adalah sekitar 0,5-1 % dari seluruh kehamilan. Serangan asma biasanya
timbul pada usia kehamilan 24-36 minggu, jarang pada akhir kehamilan. Frekuensi
dan beratnya serangan akan mempengaruhi hipoksia pada ibu dan janin. Penegakan
diagnosis serupa dengan asma diluar kehamilan.
Angka kesakitan dan
kematian perinatal tergantung dari tingkat penanganan asma. Gordon et al menemukan
bahwa angka kematian perinatal meningkat 2 kali lipat pada kehamilan dengan
asma dibandingkan kontrol, akan tetapi dengan penanganan penderita dengan baik,
angka kesakitan dan kematian perinatal dapat ditekan mendekati angka populasi
normal.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pengaruh Penyakit Diabetes Melitus pada Kehamilan dan Persalinan?
2.
Bagaimana
Pengaruh Penyakit Asma pada Kehamilan dan Persalinan?
3.
Bagaimana
Pendokumentasian (SOAP) pada Penyakit Penyerta Kehamilan dan Persalinan (
Diabetes Melitus dan Asma)?
1.3
Tujuan
1.
Memahami
Pengaruh Penyakit Diabetes Melitus pada Kehamilan dan Persalinan.
2.
Memahami
Pengaruh Penyakit Asma pada Kehamilan dan Persalinan.
3.
Memahamai
Pendokumentasian (SOAP) pada Penyakit Penyerta Kehamilan dan Persalinan (
Diabetes Melitus dan Asma).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1
Pengertian
Diabetes Mellitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di
mana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan
keadaan hiperglikemia. DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai.
Yang paling sering terjadi yaitu: diabetes mellitus yang diketahui sewaktu
hamil yang disebut DM gestasional dan DM yang telah terjadi sebelum hamil yang
dinamankan DM pragestasi.
Diabetes mellitus merupakan ganguan sistemik pada metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak. Diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia
atau peningkatan glukosa darah yang diakibatkan produksi insulin yang tidak
adekuat atau penggunaan insulin secara tidak efektif pada tingkat seluler.
(Bobak. Lowdermilk, Jensen.2004)
. Pengertian diabetes melitus pragestasi
Diabetes pragestasi, artinya sudah diketahui diabetes mellitus
kemudian hamil. Diabetes Pragestasi adalah diabetes yang terjadi sebelum
konsepsi dan terus berlanjut setelah masa hamil. Diabetes pragestasi dapat
berupa diabetes tipe 1 (tergantung insulin) dan tipe II (tidak tergantung
insulin), yang mungkin disertai atau tidak disertai penyakit vaskuler,
retinopati, nefropati, dan komplikasi diabetic lainnya. Kondisi diabetogenik
kehamilan pada sistem metabolic yang terganggu selama masa pragestasi memiliki
implikasi yang signifikan. Adapun hormone yang normal terhadap kehamilan
mempengaruhi kontrol glikemia pada pasien diabetic pragestasi. Kehamilan juga
dapat mempercepat kemajuan komplikasi vaskuler diabetes. Selama trimester
pertama, sementara kadar glukosa darah maternal dalam kondisi normal menurun,
dan respon insulin terhadap glukosa meningkat, kontrol glikemia meningkat.
Dosis insulin untuk klien diabetic yang terkontrol baik perlu disesuaikan untuk
menghindari hipoglikemi. Episode hipoglikemia tidak umum terjadi pada klien
diabetic tipe 1 selama awal kehamilan (Mayer, palmer, 1990)
Pengertian Diabetes Melitus
Gestasional
Intoleransi
terhadap karbohidrat dengan berbagai tingkat keparahan atau pertama kali
dikenali pada masa hamil.
Diagnosis
GDM ditegakkan tanpa memperhatikan kebutuhan akan insulin atau kontrol diet
atau apakah ada kemungkinan diabetes atau tidak, yang pasti belum pernah
terdiagnosis sebelum kehamilan berlangsung (Varney,
2007)
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan
(toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama
kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah
mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini
dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil.
2.1.2
Tanda dan Gejala
Tanda awal yang dapat
diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat
langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula
dalam darah mencapai nilai 160 - 180 mg/dL dan air seni (urine) penderita
kencing manis yang mengandung gula (glucose), sehingga urine sering dilebung
atau dikerubuti semut.
Penderita kencing manis
umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini meskipun tidak semua dialami
oleh penderita :
1. Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak
(Polyuria)
2. Sering atau cepat merasa haus/dahaga
(Polydipsia)
3. Lapar yang berlebihan atau makan banyak
(Polyphagia)
4. Frekwensi urine meningkat/kencing terus
(Glycosuria)
5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas
sebabnya
6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf
ditelapak tangan & kaki
7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu
8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
9. Apabila luka/tergores (korengan)
lambat penyembuhannya
10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.
Kondisi kadar gula yang
drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri bahkan
memasuki tahapan koma. Gejala kencing manis dapat berkembang dengan cepat waktu
ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan, terutama pada seorang anak yang
menderita penyakit diabetes mellitus tipe 1. Lain halnya pada penderita
diabetes mellitus tipe 2, umumnya mereka tidak mengalami berbagai gejala
diatas. Bahkan mereka mungkin tidak mengetahui telah menderita kencing manis.
2.1.3
Klasifikasi Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe 1
Kerusakan fungsi sel beta di pankreas Autoimun, idiopatik.
DM Tipe 2
Menurunnya produksi insulin atau berkurangnya daya kerja insulin
atau keduanya.
DM tipe lain:
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas, obat, infeksi,
antibodi, sindroma penyakit lain.
DM pada masa kehamilan = Gestasional
Diabetes Pada DM dengan kehamilan, ada 2 kemungkinan yang dialami
oleh si Ibu:
1. Ibu tersebut memang telah menderita DM sejak sebelum hamil
2. Si ibu mengalami/menderita DM saat hamil
Klasifikasi DM dengan Kehamilan menurut Pyke:
Klas I : Gestasional diabetes, yaitu diabetes yang
timbul pada waktu hamil dan menghilang setelah melahirkan.
Klas II : Pregestasional diabetes, yaitu diabetes
mulai sejak sebelum hamil dan berlanjut setelah hamil.
Klas III : Pregestasional diabetes yang disertai
dengan komplikasi penyakit pembuluh darah seperti retinopati, nefropati,
penyakit pemburuh darah panggul dan pembuluh darah perifer.
90% dari wanita hamil yang menderita Diabetes termasuk ke dalam
kategori DM Gestasional (Tipe II) dan DM yang tergantung pada insulin (Insulin
Dependent Diabetes Mellitus = IDDM, tipe I).
2.1.4
Manifestasi Klinik
Factor Normalnya kadar
gula dalam darah berkisar antara 70 - 150 mg/dL {millimoles/liter (satuan unit
United Kingdom)} atau 4 - 8 mmol/l {milligrams/deciliter (satuan unit United
State)}, Dimana 1 mmol/l = 18 mg/dl.
Namun demikian, kadar
gula tentu saja terjadi peningkatan setelah makan dan mengalami penurunan
diwaktu pagi hari bangun tidur. Seseorang dikatakan mengalami hyperglycemia
apabila kadar gula dalam darah jauh diatas nilai normal, sedangkan hypoglycemia
adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami penurunan nilai gula dalam
darah dibawah normal.
Diagnosa Diabetes dapat
ditegakkan jika hasil pemeriksaan gula darah puasa mencapai level 126 mg/dl
atau bahkan lebih, dan pemeriksaan gula darah 2 jam setelah puasa (minimal 8
jam) mencapai level 180 mg/dl. Sedangkan pemeriksaan gula darah yang dilakukan
secara random (sewaktu) dapat membantu diagnosa diabetes jika nilai kadar gula
darah mencapai level antara 140 mg/dL dan 200 mg/dL, terlebih lagi bila dia
atas 200 mg/dl.
Banyak alat test gula
darah yang diperdagangkan saat ini dan dapat dibeli dibanyak tempat penjualan
alat kesehatan atau apotik seperti Accu-Chek, BCJ Group, Accurate, OneTouch
UltraEasy machine.
2.1.5
Faktor Predisposisi
·
Umur sudah mulai tua
·
Multiparitas
·
Obesitas
·
Ada anggota keluarga sakit
DM (herediter)
·
Anak lahir dengan berat
besar (di atas 4 Kg)
·
Ada sejarah lahir mati
dan anak besar.
·
Sering abortus.
·
Glukosuria
2.1.6
Komplikasi
Pada
Perinatal :
Perinatal
Kematian perinatal bayi
dengann ibu DMG ( BIDMG ) sangat tergantung dari keadaan hiperglikemia ibu. Di
klinik yang maju sekalipun angka kematian di laporkan 3-5%. Angka kejadian
komplikasi BIDMG di Subbagian Perinatologi FKUI/RSUPNCM dari tahun 1994-1995
adalah 5/10.000 kelahiran.
• Makrosomia
Ibu dengan DMG 40% akan
melahirkan bayi dengan BB berlebihan pada semua usia kehamilan. Makrosomia
mempertinggi terjadinya trauma lahir, sinhdrom aspirasi mekoneum dan hipertensi
pulmonal persisten. Trauma lahir biasanya terjadi akibat distosia bahu,
sehingga dapat menyebabkan fraktur humerus, klavikula, palsi Erb syaraf
frenikus, bahkan kematian janin.
Sekitar 20-50% bayi
dengan ibu DMG mengalami hipoglikemia (GD < 30 mg/dl) pada 24 jam pertama
setelah lahir dan biasanya terjadi pada bayi makrosomia.
• Hambatan pertumbuhan
janin Ibu DMG dengan komplikasi vaskular akan memberikan bayi dengan BB rendah
pada kehamilan 37-40 minggu. Hal ini dapat terjadi juga karena adanya perubahan
metabolik ibu selama masa awal persalinan.
• Cacat bawaan Kejadian
cacat bawaan adalah 4,1% BIDMG. Cacat bawaan terjadi paling banyak pada
kehamilan dengan DMG yang tidak terpantau sebelum kehamilan dan pada trimester
pertama. Lima puluh persen kematian perinatal disebabkan kelainan jantung (TAB,
VSD, ASD), kelainan ginjal (agenesis ginjal), kelainan saluran cerna (situs
inversus, syndrome kolon kiri kecil), kelainan neurologi dan skelet. Kekerapan
cacat bawaan ringan lebih besar, mencapai sekitar 20%.
• Hipokalsemi dan
hipomagnesemia Bayi dikatakan hipokalsemia bila kadar kalsium darahnya < 7
mg/dl (kalsium ion < 3 mg/dl). Beratnya hipokalsemia berhubungan dengan
tingkat terkendalinya kadar glukosa ibu DMG. Bayi mengidap hipomagnesemia bila
kadar magnesium < 1,5 mg/dl. Biasanya hipomasgnesemia terjadi bersamaan
dengan hipokalsemia.
• Hiperbilirubinemia
Meningkatnya kadar bilirubin indirect pada 20-25% BIDMG, akibat pengrusakan
eritrosit yang mungkin terjadi karena perubahan pada membran eritrosit.
• Polisitemia
hematologis
• Asfiksia perinatal
Asfiksia perinatal terjadi pada 25% BIDMG, mungkin disebabkan oleh makrosomia,
prematuritas, penyakit vaskulat ibu yang menyebabkan hipoksia intrauterin atau
pada bayi yang lahir dengan seksio sesarea.
• Syndrom gawat nafas
neonatal Kejadian sindrom gawat nafas neonatal berkolerasi dengan tingkat
pengendalina kadar glukosa ibu DMG. Angka kejadian sindrom gawat nafass jelas
sekali menurun pada ibu DMG dengan kadar glukosa darah yang terkendali baik.
Sebagian lagi gawat nafas ini disebabkan karena prematuritas, dengan produksi
surfaktan paru belum cukup atau bayi dilahirkan dengan sseksio sesarea.
Pada ibu :
a. Hipertensi
Gestational
diabetes akan meningkatkan resiko ibu untuk mengalami tekanan darah yang tinggi
selama kehamilan. Hal tersebut juga akan meningkatkan resiko ibu untuk terkena
preeclampsia dan eclampsia, yaitu 2 buah komplikasi serius dari kehamilan yang
menyebabkan naiknya tekanan darah & gejala lain, yang dapat membahayakan
ibu maupun sang buah hati.
b. Preeklampsia
c. Peningkatan
resiko operasi caesar
DMG hanya merupakan
gangguan metabolisme yang ringan, tetapi hiper glikemia ringan tetap dapat
memberikan penyulit pada ibu, berupa:
· Preeklamsi
· Polihidramnion
· Infeksi saluran kemih
· Persalinan seksio sesarea
· Trauma kelahiran karena kelahiran bayi besar
Sekitar 40%-60% wanita
yang pernah DMG pada pengamatan lanjut pasca persalinan akan mengidap diabetes
militus atau toleransi glukosa terganggu
2.1.7
Penilaian Klinik dan Diagnosis
PENILAIAN KLINIK
Penapisan untuk DMG harus dilakukan pada semua wanita hamil.
Penapisan untuk DMG harus dilakukan pada semua wanita hamil.
Faktor resiko DMG :
Riwayat kebidanan
· Beberapa kali keguguran.
· Riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab yang jelas.
· Riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan.
· Pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram.
· Pernah preeklampsia.
· Polihidramnion. Riyawat ibu
· Umur ibu hamil > 30 tahun.
· Riwayat DM dalam keluarga.
· Pernah DMG dalam kehamilan sebelumnya.
· Infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil.
DIAGNOSIS
Wanita hamil kadar gula darah < 140 mg/dl > 140 mg/dl
Puasa
Glukosa 75 gram
Puasa
Glukosa 75 gram
Plasma 2 jam 140 – 199 mg/dl >200 mg/dl >200 mg/dl
Diagnosis Toleransi Glukosa Terganggu DM DMG
Diagnosis Toleransi Glukosa Terganggu DM DMG
PERSIAPAN PEMERIKSAAN
Pasien harus makan mengandung cukup karbohidrat minimal 3 hari sebelumnya,
kemudian semalam sebelum hari pemeriksaan harus berpuasa selama 8 sampai 12
jam. Setelah persiapan dalam keadaan berpuasa, pagi hari diambil contoh darah,
kemudian diberikan beban glukosa 75 gram dalam 200 ml air. Contoh darah
berikutnya diperiksa 2 jam setelah beban glukosa. Contoh darah yang diberikan
adalah plasma vena.
2.1.8
Pengaruh Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Diabetes
·
Kehamilan dapat
menyebabkan prediabetik menjadi manifes (diabetes)
·
Diabetes akan menjadi lebih berat oleh kehamilan.
·
Pada persalinan yang memerlukan tenaga ibu dan
kerja rahim akan memerlukan glukosa banyak, maka akan terjadi hipoglikemi atau
koma.
·
Dalam masa laktasi keperluan akan insulin akan bertambah
Pengaruh Diabetes Terhadap Kehamilan
·
Abortus dan partus prematurus
·
Hidramnion
·
Pre eklampsi
·
Kesalahan letak janin
·
Insufisiensi placenta
Pengaruh Diabetes Terhadap Persalinan
·
Inercia uteri atau atonia uteri
·
Distocia karena janin
(anak besar, bahu lebar)
·
Kelahiran mati
·
Persalinan lebih sering di tolong secara operatif
·
Angka kejadian
perdarahan dan infeksi tinggi
·
Morbiditas & mortalitas ibu tinggi.
Pengaruh Diabetes Terhadap Nifas
·
Perdarahan &
infeksi puerperal lebih tinggi
·
Luka jalan lahir lambat pulih/ sembuh
Pengaruh Diabetes Terhadap Janin/Bayi
·
Sering tejadi abortus
·
Kematian janin dalam kandungan setelah 36 minggu
·
Dapat terjadi cacat
bawaan
·
Dismaturitas
·
Janin besar
(makrosomia)
·
Kematian neonatal
tinggi.
·
Kemudian hari dapat terjadi kelainan neurologik dan
psikologik.
2.1.9
Penatalaksanaan
Pantau ibu dan janin
dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG.
Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya
makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC.
Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu)
dengan persalinan biasa.
Ibu hamil dengan DM
tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus
selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan
terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan
janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus
dirawat sejak UK 34 minggu dan baisanya memerlukan insulin.
Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan therapi insulin
(Lantus/Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain
itu adalah dengan berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu
makanan (diet).
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan
penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai
kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan
mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai
hasil yang diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan
pemberian suntikan insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan
kadar gula darah.
Prinsip penanganan
· Kontrol secara ketat kadar gula darah, sebab bila kontrol kurang baik
upayakan lahir lebih dini, dengan pertimbangan kematangan pada janin. Dapat
terjadi kematian janin mendadak. Berikan insulin yang bekerja secara cepat,
bila mungkin memberikan secara drip.
· Hindari adanya infeksi traktus urinarius atau infeksi lainnya. Lakukan
upaya pencegahan infeksi dengan baik.
· Bayi baru lahir bisa terjadi hipoglikemia yang cepat, perlu diatasi dengan
memberi infus glukosa.
PEMANTAUAN LANJUT
· Disarankan agar pada semua wanita DMG setelah persalinan dilakukan tes
toleransi glukosa setiap 6 bulan sekali.
· Perlindungan obstetri melalui pemakaian kontrasepsi harus diterapkan pada
penderita DMG.
Penatalaksanaan
Diabetes Melitus menurut Pemenuhan Kebutuhan Gizi Reproduksi, 2006, yaitu :
1. Mengatur diet.
Diet yang dianjurkan
pada bumil DMG adalah 30-35 kal/kg BB, 150-200 gr karbohidrat, 125 gr protein,
60-80 gr lemak dan pembatasan konsumsi natrium. Penambahan berat badan bumil
DMG tidak lebih 1,3-1,6 kg/bln. Dan konsumsi kalsium dan vitamin D secara adekuat.
2. Penatalaksanan Diabetes Melitus terhadap ibu hamil menurut Kapita Selekta,
Jilid II, 2006. yaitu sebagai berikut :
· Daya tahan terhadap insulin meningkat dengan makin tuanya kehamilan, yang
dibebaskan oleh kegiatan antiinsulin plasenta.
· Penderita yang sebelum kehamilan sudah memerlukan insulin diberi insulin
dosis yang sama dengan dosis diluar kehamilan sampai ada tanda-tanda bahwa
dosis perlu ditambah atau dikurangi.
· Perubahan-perubahan dalam kehamilan memudahkan terjadinya hiperglikemia dan
asidosis tapi juga manimbulkan reaksi hipoglikemik. Maka dosis insulin perlu
ditambah/dirubah menurut keperluan secara hati-hati dengan pedoman pada 140
mg/dl. Pemeriksaan darah yaitu kadar post pandrial < 140 mg/dl. Terutama
pada trimester I mudah terjadi hipoglikemia apabila dosis insulin tidak
dikurangi karena wanita kurang makan akibat emisis dan hiperemisis gravidarum.
· Pada penderita yang penyakitnya tidak berat dan cukup dikuasi dengan diit
saja dan tidak mempunyai riwayat obstetri yang buruk, dapat diharapkan partus
spontan sampai kehamilan 40 minggu. lebih dari itu sebaiknya dilakukan induksi
persalinan karena prognosis menjadi lebih buruk.
· Apabia diabetesnya lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin, sebaiknya
kehamilan diakhiri lebih dini sebaiknya kehamilan 36-37 minggu.
· Bila kehamilan disertai komplikasi, maka dipertimbangkan untuk menghindari
kehamilan lebih dini lagi baik dengan induksi atau seksio sesarea dengan
terlebih dahulu melakukan amniosentesis. Dalam pelaksanaan partus pervaginam,
baik yang tanpa dengan induksi, keadaan janin harus lebih diawasi jika mungkin
dengan pencatatan denyut jantung janin terus – menerus.
2.2
Asma
2.2.1
Pengertian
The American Thoracic
Society (1962): adalah suatu penyakit
dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil suatu pengobatan.
Gibbs dkk (1992)
mendefinisikan sebagai suatu gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang
banyak diperankan oleh terutama sel mast dan eosinofil.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas
terutama sel mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa
sesak napas, dada terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Asma Bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai UK 24-36 minggu dan pada akhir kehamilan jarang terjadi serangan.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Asma Bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya asma tidak sama pada setiap penderita, bahkan pada seorang penderita asma, serangannya tak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai UK 24-36 minggu dan pada akhir kehamilan jarang terjadi serangan.
2.2.2
Faktor Predisposisi
a. Alergi
b. Infeksi saluran nafas
c. Stress
d. Olah raga / kegiatan jasmani yang berat
e. Obat-obatan
f. Polusi udara
g. Lingkungan kerja
2.2.3
Tanda dan Gejala
a.
Nafas pendek
b.
Nafas terasa sesak dan
yang paling khas pada penderita asma
adalah terdengar bunyi wising yang timbul saat menghembuskan nafas
c.
Pada kehamilan,
biasanya serangan asma akan timbul pasa usia kehamilan 24 minggu sampai 36
minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi.
Batuk, sesak, wheezing, hiperventilasi, dispnea, takipnea, ortopnea,
ekspirasi memanjang, sianosis, takikardi persisten, penggunaan obat bantu
pernapasan, kesukaran bicara, dan pulsus paradoksus.
2.2.4
Manifestasi Klinik
Factor pencetus timbulnya asma antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran
nafas, pengaruh udara dan factor psikis. Penderita selama kehamilan perlu
mendapat pengawasan yang baik, biasanya penderita mengeluh nafas pendek,
berbunyi, sesak, dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma
diluar kehamilan.
2.2.5
Komplikasi
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya
serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia.
Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada
janin dan sering terjadi sbb.
- Keguguran
- Persalinan prematur
- Pertumbuhan janin terhambat.
- Keguguran
- Persalinan prematur
- Pertumbuhan janin terhambat.
Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol
adalah kemungkinan bisa terjadi:
·
Abortus
·
Perdarahan vagina
·
Persalinan premature
·
Solusio plasenta 2,5%
·
Korioamnionitis 10,4%
·
Pada asma yang sangat
berat dapat mengakibatkan kematian ibu.
2.2.6
Diagnosis Asma Bronkiale
Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik seperti
sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul berulang-ulang dengan
masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi
kadang-kadang dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan berlangsung terus
menerus.
Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rinitis
alergik, dan keluarga yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan
penyakit asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai
faktor pencetus serangan.
Penemuan pada pemerikasaan fisik penderita asma tergantung dari derajat
obstruksi jalan nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
takikardi, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma
dalam serangan. Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan
diagnosis asma, tetapi banyak pula penderita yang bukan asma menimbulkan mengi
sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang.
2.2.7
Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma
Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak
dapat diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai
60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma.
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan
mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan
mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma
akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan akan
memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan kadar
IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau
pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan
faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin,
sebagai faktor yang memberikan pengaruh.
Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan
asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung
pervaginam.
2.2.8
Pengaruh Asma terhadap Kehamilan
Pengaruh asma terhadap kehamilan bervariasi tergantung derajat berat
ringannya asma tersebut. Asma terutama jika berat bisa secara bermakna
mempengaruhi hasil akhir kehamilan, beberapa penelitian menunjukkan adanya
peningkatan insidensi abortus, kelahiran prematur, janin dengan berat badan
lahir rendah, dan hipoksia neonatus. Beratnya derajat serangan asma sangat
mempengaruhi hal ini, terdapat korelasi bermakna antara fungsi paru ibu dengan
berat lahir janin. Angka kematian perinatal meningkat dua kali lipat pada
wanita hamil dengan asma dibandingkan kelompok kontrol.
Asma berat yang tidak terkontrol juga menimbulkan resiko bagi ibu, kematian
ibu biasanya dihubungkan dengan terjadinya status asmatikus, dan komplikasi
yang mengancam jiwa seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale
akut, aritmia jantung, serta kelemahan otot dengan gagal nafas. Angka kematian
menjadi lebih dari 40% jika penderita memerlukan ventilasi mekanik.
Asma dalam kehamilan juga dihubungkan dengan terjadinya sedikit peningkatan
insidensi preeklampsia ringan, dan hipoglikemia pada janin, terutama pada ibu
yang menderita asma berat.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penanganan penderita secara
intensif, akan mengurangi serangan akut dan status asmatikus, sehingga hasil
akhir kehamilan dan persalinan dapat lebih baik.
Pengaruh asma dalam kehamilan terhadap janin
Efek yang dirasakan tidak hanya dirasakan oleh ibu tapi juga dirasakan oleh
janin
1. Asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
2. IUGR (Intra Uterine Growth Rate)
3. Lepasnya plasenta (solusio placenta)
2.2.9
Penanganan Asma Selama Kehamilan dan Persalinan
Dasar-dasar Penanganan
Penanganan penderita asma selama kehamilan bertujuan untuk menjaga ibu
hamil sedapat mungkin bebas dari gejala asma, walaupun demikian eksaserbasi
akut selalu tak dapat dihindari.
Pengobatan yang harus diusahakan adalah :
1.
Menghindari terjadinya
gangguan pernapasan melalui pendidikan terhadap penderita, menghindari
pemaparan terhadap alergen, dan mengobati gejala awal secara tepat.
2.
Menghindari terjadinya
perawatan di unit gawat darurat karena kesulitan pernapasan atau status
asmatikus, dengan melakukan intervensi secara awal dan intensif.
3.
Mencapai suatu
persalinan aterm dengan bayi yang sehat, di samping melindungi keselamatan ibu.
4.
Dalam penanganan
penderita asma diperlukan individualisasi penanganan, karena penanganan suatu
kasus mungkin berbeda dengan kasus asma yang lain, dalam memulai suatu
perawatan obstetri terhadap wanita hamil dengan asma perlu diperhatikan
beberapa prinsip tertentu yaitu :
· Mendeteksi dan mengeliminasi faktor pemicu timbulnya serangan asma pada
penderita tertentu.
· Menghentikan merokok, baik untuk alasan obstetrik maupun pulmonal
· Mendeteksi dan mengatasi secara awal jika diduga adanya infeksi pada
saluran nafas, seperti bronkitis, sinusitis.
· Pembahasan antara ahli kebidanan dan ahli paru, untuk mengetahui
masalah-masalah yang potensial dapat timbul, rencana penanganan umum termasuk
penggunaan obat-obatan.
· Pertimbangan untuk mengurangi dosis pengobatan, tetapi masih dalam kerangka
respon pengobatan yang baik.
· Melakukan penelitian fungsi paru dasar, juga penentuan gas darah khususnya
pada penderita asma berat.
Obat-obat anti asma yang sering digunakan
Obat-obat yang
digunakan untuk pengobatan asma secara garis besar dapat dibagi dalam 5
kelompok utama yaitu beta adrenergik, methylxanthine, glukokortikoid, cromolyn
sodium dan anti kolinergik, di samping itu terdapat obat-obat lain yang sering
digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita asma seperti ekspektoran dan
antibiotik.
a. Beta adrenergik agonis
Dalam golongan ini
epinefrin merupakan obat yang paling sering digunakan.
Epinefrin menstimulasi
reseptor beta-2 menyebabkan bronkodilatasi, tetapi juga menstimulasi reseptor
alfa dan beta-1 yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi perifer dan
takikardia baik pada ibu maupun janin, juga menyebabkan fetal distres, ini
merupakan kelemahan teoritis penggunaan epinefrin dalam kehamilan, untungnya
epinefrin mempunyai waktu paruh pendek dan belum ada laporan yang menunjukkan
adanya efek jangka panjang terhadap janin pada penggunaannya dalam kehamilan.
Terbutalin merupakan
beta agonis yang sering digunakan untuk terapi tokolitik pada persalinan
prematur. Dalam pengobatan asma dosisnya sebaiknya dikurangi pada saat
mendekati aterm, meskipun tidak terdapat laporan yang menunjukkan adanya
penundaan bermakna dalam onset persalinan normal, bila obat ini digunakan
sebagai terapi inti asma standar.
2. Methylxanthine (Teofilin)
Teofilin dengan
berbagai garamnya termasuk dalam golongan ini. Mekanisme teofilin menimbulkan
bronkodilatasi tidak jelas, diduga melalui inhibisi kompetitif terhadap enzim
fosfodiesterase, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar siklik AMP
karena degradasinya yang menurun. Aminofilin merupakan suatu garam
dietileniamin dari teofilin dan merupakan satu-satunya obat golongan xanthin
yang dapat diberikan secara parenteral
3. Glukokortikoid
Kortikosteroid
digunakan sejak lama untuk pengobatan asma. Kortikosteroid bukan merupakan
bronkodilator, tetapi bermanfaat dalam mengarungi inflamasi pada saluran napas.
Umumnya disepakati memberikan steroid seawal mungkin pada penderita dengan
serangan asma akut berat. Pemakaian kortikosteroid selama kehamilan tidak
menyebabkan meningkatnya resiko komplikasi baik pada janin maupun ibu.
4. Cromolyn Sodium
Cromolyn sodium bukan
merupakan bronkodilator, efek terapeutik utamanya adalah inhibisi terhadap
degranulasi sel mast, sehingga mencegah terjadinya pelepasan mediator kimia
untuk reaksi anafilaksis. Cromolyn berguna baik untuk asma alergik maupun non
alergik.
5. Anti Kolinergik
Obat antikolenergik
seperti atropin sulfat dapat memberikan efek bronkodilatasi ada penderita asma,
tetapi penggunaannya menjadi terbatas karena efek samping yang tidak
diinginkan. Golongan antikolinergik yang lebih sering digunakan adalah
ipratropium bromida, terbukti efektif dan kurang menimbulkan efek yang tidak
diinginkan.
Efek penggunaan obat
anti asma dalam kehamilan terhadap janin Umumnya obat-obat anti asma yang
biasanya dipergunakan relatif aman penggunaannya selama kehamilan, jarang
dijumpai adanya efek teratogenik pada janin akibat penggunaan obat anti asma.
Penanganan asma kronik pada kehamilan
Dalam penanganan
penderita asma dengan kehamilan, dan tidak dalam serangan akut, diperlukan
adanya kerja sama yang baik antara ahli kebidanan dan ahli paru. Usaha-usaha
melalui edukasi terhadap penderita dan intervensi melalui pengobatan dilakukan
untuk menghindari timbulnya serangan asma yang berat.
Adapun usaha penanganan
penderita asma kronik meliputi :
- Bantuan psikologik menenangkan penderita bahwa kehamilannya tidak akan memperburuk perjalanan klinis penyakit, karena keadaan gelisah dan stres dapat memacu timbulnya serangan asma.
- Menghindari alergen yang telah diketahui dapat menimbulkan serangan asma
- Desensitisasi atau imunoterapi, aman dilakukan selama kehamilan tanpa adanya peningkatan resiko terjadinya prematuritas, toksemia, abortus, kematian neonatus, dan malformasi kongenital, akan tetapi efek terapinya terhadap penderita asma belum diketahui jelas.
- Diberikan dosis teofilin per oral sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma antara 10-22 mikrogram/ml, biasa dosis oral berkisar antara 200-600 mg tiap 8-12 jam.
- Dosis oral teofilin ini sangat bervariasi antara penderita yang satu dengan yang lainnya.
- Jika diperlukan dapat diberikan terbulatin sulfat 2,5-5 mh per oral 3 kali sehari, atau beta agonis lainnya.
- Tambahkan kortikosteroid oral, jika pengobatan masih belum adekuat gunakan prednison dengan dosis sekecil mungkin.
- Pertimbangan antibiotika profilaksis pada kemungkinan adanya infeksi saluran nafas atas.
- Cromolyn sodium dapat dipergunakan untuk mencegah terjadinya serangan asma, dengan dosis 20-40 mg, 4 kali sehari secara inhalasi.
Penanganan asma dalam
persalinan
Pada kehamilan dengan
asma yang terkontrol baik, tidak diperlukan suatu intervensi obstetri awal.
Pertumbuhan janin harus dimonitor dengan ultrasonografi dan parameter-parameter
klinik, khususnya pada penderita-penderita dengan asma berat atau yang steroid
dependen, karena mereka mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami
masalah pertumbuhan janin. Onset spontan persalinan harus diperbolehkan,
intervensi preterm hanya dibenarkan untuk alasan obstetrik.
Karena pada persalinan
kebutuhan ventilasi bisa mencapai 20 I/menit, maka persalinan harus berlangsung
pada tempat dengan fasilitas untuk menangani komplikasi pernapasan yang berat;
peneliti menunjukkan bahwa 10% wanita memberat gejala asmanya pada waktu
persalinan.
Selama persalinan kala
I pengobatan asma selama masa prenatal harus diteruskan, ibu yang sebelum
persalinan mendapat pengobatan kortikosteroid harus hidrokortison 100 mg intravena,
dan diulangi tiap 8 jam sampai persalinan. Bila mendapat serangan akut selama
persalinan, penanganannya sama dengan penanganan serangan akut dalam kehamilan
seperti telah diuraikan di atas.
Pada persalinan kala II
persalinan per vaginam merupakan pilihan terbaik untuk penderita asma, kecuali
jika indikasi obstetrik menghendaki dilakukannya seksio sesarea. Jika dilakukan
seksio sesarea. Jika dilakukan seksio sesarea lebih dipilih anestesi regional
daripada anestesi umum karena intubasi trakea dapat memacu terjadinya
bronkospasme yang berat.
Pada penderita yang
mengalami kesulitan pernapasan selama persalinan pervaginam, memperpendek, kala
II dengan menggunakan ekstraksi vakum atau forceps akan bermanfaat.
Bila terjadi pendarahan
post partum yang berat, prostaglandin E2 dan uterotonika lainnya harus
digunakan sebagai pengganti prostaglandin F2(x) yang dapat menimbulkan
terjadinya bronkospapasme yang berat.
Dalam memilih anestesi
dalam persalinan, golongan narkotik yang tidak melepaskan histamin seperti
fentanyl lebih baik digunakan daripada meperidine atau morfin yang melepas
histamin.
Bila persalinan dengan
seksio sesarea atas indikasi medik obstetrik yang lain, maka sebaiknya anestesi
cara spinal.
Penanganan asma post
partum
Penanganan asma post partum
dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan dan penanganan klinis asma
umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum. Pada wanita yang
menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
PENATA LAKSANAN
1.
Menghindari faktor
pencetus, seperti :
· Infeksi saluran napas atas
· Alergen
· Udara dingin
· Psikis.
2.
Menggunakan Obat
· Obat lokal (seperti aminofilin) atau kortikosteroid inhalasi atau oral pada
serangan asma ringan.
serangan asma ringan.
· Obat antiasma umumnya tidak berpengaruh negatif terhadap janin, kecuali
adrenalin.
adrenalin.
· Adrenalin mempengaruhi pertumbuhan janin karena penyempitan pembuluh
darah ke janin yang dapat mengganggu oksigenisasi pada janin tersebut.
darah ke janin yang dapat mengganggu oksigenisasi pada janin tersebut.
· Aminofilin dapat menyebabkan penurunan kontraksi uterus.
3.
Menangani Serangan Asma
Akut ( sama dengan wanita tidak hamil ), yaitu :
·
Memberikan cairan
intravena
·
Mengencerkan cairan
sekresi di paru
·
Memberikan oksigen
(setelah pengukuran PO2, PCO2) sehingga tercapai PO2 lebih
60 mmHg dengan kejenuhan 95% oksigen atau normal.
·
Cek fungsi paru
·
Cek janin
·
Memberikan obat
kortikosteroid.
4.
Menangani asmatikus
dengan gagal napas
· Secepatnya melakukan intubasi bila tidak terjadi perubahan setelah
pengobatan intensif selama 30-60 menit.
pengobatan intensif selama 30-60 menit.
· Memberikan antibiotik saat menduga terjadi infeksi
5.
Mengupayakan persalinan
· Persalinan spontan dilakukan saat pasien tidak berada dalam serangan.
· Melakukan ekstraksi vakum atau forseps saat pasien berada dalam serangan.
· Seksio sesarea atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan.
· Meneruskan pengobatan reguler asma selama proses kelahiran.
· Jangan memberikan analgesik yang mengandung histamin tetapi pilihlah
morfin atau analgesik epidural.
morfin atau analgesik epidural.
· Hati-hati pada tindakan intubasi dan penggunaan prostaglandin E2 karena
dapat menyebabkan bronkospasme.
dapat menyebabkan bronkospasme.
6.
Memilih obat yang tidak mempengaruhi air susu
·
Aminofilin dapat
terkandung dalam air susu sehingga bayi akan mengalami
gangguan pencernaan, gelisah dan gangguan tidur.
gangguan pencernaan, gelisah dan gangguan tidur.
·
Obat antiasma lainnya
dan kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
karena kadarnya dalam air susu sangat kecil.
karena kadarnya dalam air susu sangat kecil.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas terutama
sel mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa sesak napas,
dada terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil.
Asma bronkiale merupakan penyakit obstruksi saluran nafas yang sering
dijumpai pada kehamilan dan persalinan, diperkirakan 1%-4% wanita hamil
menderita asma. Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi.
3.2
Saran
- Kepada mahasisiwi Poltekkes Bandung Prodi Kebidanan Karawang agar lebih dapat memahami jenis penyakit yang menyertai kehamilan dan persalinan khususnya Diabetes Melitus dan Asma.
- Bagi petugas kesehatan khususnya bidan diharapkan dapat mengetahui tindak lanjut penanganan penyakit yang menyertai kehamilan dan persalinan khususnya Diabetes Melitus dan Asma, juga dapat mengenali tanda dan gejala terjadinya Diabetes Melitus dan Asma dalam kehamilan dan persalinan